Fakta88news.com, - Penutupan serentak kantor World ID dan Worldcoin di Indonesia pada awal Mei 2025 bukan sekadar akhir dari operasional aplikasi kontroversial Tools for Humanity. Ini adalah cerminan kegagalan sistemik—baik dari penyelenggara, pemerintah, maupun masyarakat—dalam menjaga privasi dan keamanan data di era digital. Di balik janji manis imbalan kripto, kasus ini mengungkap ketidakpedulian terhadap risiko data biometrik, data pribadi, dan aset digital warga, serta lemahnya literasi digital yang terus menghantui bangsa ini.
Janji Kripto, Jebakan Data BiometrikWorld App, yang digawangi oleh Sam Altman dan Alex Blania, menawarkan imbalan berupa mata uang kripto WLD—senilai Rp200 ribu hingga Rp800 ribu—hanya dengan memindai iris mata menggunakan perangkat Orb. Ratusan warga, terutama dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, tergiur. Antrean panjang di Bekasi, seperti di Jalan Narogong dan Juanda, menjadi bukti betapa mudahnya masyarakat “menjual” data biometrik mereka demi recehan digital. Namun, ketika kantor-kantor ini ditutup menyusul pembekuan izin oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta OJK, warga seperti Anisa dan Bayu hanya mendapat kekecewaan dan ketakutan: ke mana data retina mereka pergi ?
Kritik pertama tertuju pada Tools for Humanity.
Klaim bahwa data biometrik aman adalah omong kosong tanpa bukti konkret. Lokasi server, metode enkripsi, dan prosedur penghapusan data tidak pernah dijelaskan secara transparan. Pernyataan penyangkalan mereka atas tuduhan penjualan data ke pihak asing terasa seperti formalitas belaka, terutama ketika Kenya, Tiongkok, dan negara-negara Eropa sudah lebih dulu menghentikan operasional Worldcoin karena alasan serupa.
Jika perusahaan sekaliber ini tidak mampu menjamin keamanan data, bagaimana kita bisa percaya pada janji-janji startup digital lainnya ?
Pemerintah : Reaktif, Bukan Proaktif
Pemerintah, dalam hal ini Komdigi dan OJK, juga tidak luput dari kritik. Pembekuan izin operasional World App memang langkah tepat, tetapi terlambat. Mengapa World ID bisa beroperasi begitu lama, mengumpulkan data ribuan warga, tanpa izin resmi? Di mana pengawasan OJK terhadap layanan berbasis kripto yang jelas-jelas berisiko tinggi? Komdigi, yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan data, baru bertindak setelah warganet di X, seperti @Heri**ryana, memicu pertanyaan ke publik.
Ini menunjukkan sikap reaktif, bukan proaktif, dalam menangani ancaman digital.Lebih parah lagi, implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) masih berjalan lamban. Tidak ada badan pengawas data independen yang berfungsi efektif, dan mekanisme pengaduan untuk warga yang khawatir dengan data mereka nyaris tidak ada.
Pemerintah seolah menutup mata bahwa data warga Indonesia sudah menjadi “mainan” perusahaan asing seperti Google, Meta, dan kini Tools for Humanity. Tanpa regulasi yang tegas dan sanksi nyata, kasus serupa akan terus berulang.
Masyarakat: Korban atau Pelaku?
Warga juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Antusiasme mengantre untuk memindai retina demi imbalan kecil mencerminkan rendahnya literasi digital di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Heru Sutadi, pakar keamanan siber, data biometrik seperti iris mata adalah aset yang tak tergantikan. Jika bocor, konsekuensinya bisa berupa kejahatan siber, pengawasan massal, hingga pembobolan dompet digital.
Namun, banyak warga, seperti Tarno dari Bekasi, yang awalnya mendapat WLD senilai Rp800 ribu, tidak memahami risiko ini. Ketika saldo kripto mereka menyusut atau kantor tutup, barulah mereka panik. Kritik terhadap masyarakat bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menyadarkan. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan aplikasi, tetapi juga memahami nilai data pribadi.
Sayangnya, pemerintah dan lembaga pendidikan gagal menyediakan edukasi yang memadai, meninggalkan warga rentan dieksploitasi oleh skema seperti World App. Data Lain yang Terancam Selain data biometrik, World App juga mengumpulkan data pribadi lain : nama, nomor telepon, email, dan lokasi. Ketidak jelasan nasib data ini pasca-penutupan kantor memperburuk situasi.
Apakah data tersebut sudah dihapus?
Ataukah masih tersimpan di server asing untuk tujuan yang tidak diketahui? Belum lagi dompet digital WLD yang rentan diretas, seperti diperingatkan Alfons Tanujaya. Munculnya situs phishing yang mengatas namakan Worldcoin setelah penutupan semakin memperlihatkan betapa lemahnya perlindungan terhadap pengguna.
Pandangan ke Depan : Jangan Ulangi Kesalahan Kasus World ID harus menjadi titik balik.
Pemerintah harus segera membentuk badan pengawas data yang independen dan melakukan audit menyeluruh terhadap data yang dikumpulkan Worldcoin. Sanksi tegas terhadap Tools for Humanity, seperti denda atau larangan operasi permanen, perlu diterapkan jika pelanggaran terbukti. Selain itu, edukasi literasi digital harus menjadi prioritas nasional, melibatkan sekolah, komunitas, dan media sosial untuk menjangkau kelompok rentan.Bagi masyarakat, sudah saatnya berhenti tergiur imbalan instan yang mengorbankan privasi. Seperti kata Anditata, warga Bekasi yang menolak verifikasi retina, “Jangan cuma tutup kantor, jelaskan apa risikonya.” Pertanyaan ini adalah seruan kepada semua pihak—penyelenggara, pemerintah, dan warga—untuk bertanggung jawab atas ekosistem digital yang aman dan beretika. Jika pelajaran dari World ID diabaikan, Indonesia hanya akan menjadi pasar empuk bagi eksploitasi data berikutnya. Data adalah “minyak” abad ini, tetapi tanpa perlindungan, warga hanyalah korban yang terus diperas./Natama Sitorus
Posting Komentar